Tertawa
Saya pulang dari
pasar
Lalu saya lihat
beberapa pemuda asing
Yang sedang
tertawa
Saya nimbrung
dan ikut tertawa
Saya masuk rumah
Saya lihat bapa
mengenakan celana kekecilan
Saya tertawa
Ibu dan adik pun
ikut tertawa
Sebuah platform untuk merenungkan pengalaman sehari-hari dalam bentuk sastra demi semakin memaknai hidup sebagai seni yang indah.
Diam-diam saja
kau di situ
Saya sedang
belajar mencari arti dari umpama
Saya tidak lupa
apa-apa
Juga kau yang
terus bertanya
Saya ingin
mencintaimu dengan uang seribu
Yang saya pungut
dari tubuh lelaki itu
Jangan pikir
lagi
Saya sudah
selesai dengan semua luka
Berhentilah
bicara tentang dosa
Itu milik
orang-orang suci
Sedang saya
adalah aib di perut ibu
Tidak ada lagi
itu cinta
Kau hanya perlu
lebih berani
Berani menahan
sakit dari gerayang singa buas
Berani
menyembunyikan perih dari lekuk penuh birahi
Berani menelan
airmata dari hujaman membabi buta
Berani memeluk
sunyi dari nikmat yang tak kau ingini
Dan akan saya
katakan padamu
Bahwa cinta
seharga seribu
Selalu tidak
main-main
Jogjakarta 2020
Tulisan Bapa
Yang berisi
semua kegelisahan
Dan kecemasan
saya
Saya kubur surat
itu di belakang rumah lalu pergi
Esoknya saya
kembali
Dan saya dapati
Sampah yang
menggunung
Persis di atas
surat saya
Saya keluarkan
surat itu
Dan terkejut
dengan isinya yang sudah berubah:
“jangan buang
sampah sembarangan!”
Saya ingat betul
Itu tulisan
tangan Bapa
Jogjakarta 2020
Racau
Saya ingin
mencari Tuhan dalam amarahmu
Dalam umpatan
yang kau susun rapi
Di balik rasa
enggan
Lalu kau tutupi
dengan bisa pada seulas senyum
Saya ingin
mengenal Tuhan dalam gerutumu
Dalam desis yang
membuat terperangah
Atau sebuah
makian santun
Yang kau sulam
dalam gua pertapa
Saya ingin
menemukan Tuhan dalam cemberutmu
Pada sepotong
ikhlas yang terlupa
Atau ego yang
terlampau telanjang
Dan kau girang
akan seketul roti basi
Cukup sudah kau
meracau
Kita masih dalam
ruang dan waktu
Kelak kita pun
akan tahu
Ke mana takdir
kan menuntun
Jogjakarta 2020
Sepertiga
Malam
Kita sudah lupa pada pendar bianglala
yang saban gerimis menyapa kita dengan
malu-malu
lalu kita bergandengan tangan,
memberi salam pada masa kanak-kanak
yang berpulang pada haribaan
Kita duduk berdua di tepi kolam
melantunkan doa kecil sambil tertawa geli
melihat sepasang kodok bersembunyi di
balik teratai,
saling merayu,
lalu hilang bersama satu cipratan air.
Tapi sekarang, kita sudah sampai
pada sepertiga malam.
Bintang kecil mulai melukis diri
pada langit yang berubah legam
berkedip manja seperti gadis malam
di tengah gemerlap kota
dan kita tergoda pada pesonanya yang
acapkali membunuh itu.
“Ingin kuisi malam ini dengan sebuah
tembang terakhir” kau berkata
saya mengangguk pelan
toh sebentar lagi kita bukan milik sang
waktu.
Kau mulai meringkih dengan
nada-nada yang kau susun sendiri,
bersaing dengan suara jangkrik
yang selamanya tak kan pernah kita pahami.
Kita masih di sepertiga malam.
menghitung detik yang tinggal tersisa,
mencari-cari pelindung untuk semua
kerapuhan kita,
menebak-nebak dunia yang esok kan
menyambut kita,
lalu berbaring lemas
dengan mimpi-mimpi yang baru separuh jalan
Kita selesai di sepertiga malam.
mencari-cari muasal kita,
meraung-raung minta tolong
pada keajaiban yang mustahil
lalu tertidur pulas dengan tubuh
yang sepenuhnya telanjang.
Jogjakarta 2020